Saturday 26 September 2015

Membayangkan Difabel Saat Mendesain Bangunan





Perhatian Gunawan Tanuwidjaja terhadap kaum difabel (different ability) kian total, berkat sebuah peristiwa pada 20 tahun yang lalu. Bermula ketika sang adik mengalami sakit dan harus menggunakan kursi roda, saat Gunawan masih berusia 17 tahun. Karena keinginannya agar sang adik dapat beraktivitas sehari-hari dengan nyaman, Gunawan langsung mantap untuk menggeliti dunia arsitektur. Tentu saja, arsitektur bangunan yang ramah terhadap kaum difabel.

Cita-cita tersebut mulai diwujudkannya saat ia lulus SMA pada tahun 2001. Arsitek berusia 37 tahun tersebut segera menempuh studi Strata satu (S-1) di Institut Teknologi Bnadung (ITB). Empati pria ini semakin terasah ketika menyaksikan beberapa temannya juga penyandang difabel. Guanawan kian tersentuh, saat menyaksikan mereka mengalami kesulitan saat beraktivitas di rumah maupun di tempat umum (public area). Ketidak-nyamanan tersebut hanya berpangkal pada satu persoalan: Desain bangunan tidak cocok atau tidak ramah pada kaum difabel.

Kenyataan berbeda ditemui pria itu saat berkuliah Starata dua (S-2) di National University of Singapore (NUS). Di negeri jiran tersebut, para penyandang difabel dapat mandiri dan bebas berjalan-jalan di area publik. Akses dan bangunan di Singapura memang memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi kaum difabel. Menurut Gunawan, kondisi ini membuat rasa percaya diri mereka jauh lebih besar daripada penyandang difabel di Indonesia.

Dalam mendesain suatu bangunan, pria yang lahir pada tanggal 8 Agustus 1978 itu,  akan berusaha total untuk mewujudkan desain yang ramah terhadap penyandang difabel. Seringkali ia berpura-pura menjadi difabel saat mendesain bangunan. Pria asal Bandung ini tidak segan-segan menutup kedua matanya dengan kain untuk merasakan apakah hasil karyanya telah sesuai dengan kebutuhan penyandang tunanetra. Tentu tindakannya ini sering mengundang ejekan orang lain. Tapi, Gunawan tak menghiraukannya. Sebab baginya, setiap bangunan harus ramah dan nyaman bagi penyandang difabel.

Salah satu contoh komponen bangunan yang tidak cocok bagi penyandang difabel, misalnya tangga di rumah. Seringkali tangga dibuat dengan kemiringan mendekati sudut 90 derajat, agar menghemat tempat. Akan tetapi, ini akan menyulitkan kaum difabel untuk menaikinya. Tangga yang aman bagi penyandang difabel adalah tangga yang landai. Perbandingan ideal antara tinggi dan panjang bidang tangga adalah 1 banding 12. Sebagai contoh, tangga yang memiliki tinggi 10 cm, maka bidang kelandaian tangga berukuran 1,2 meter. Maka dengan desain seperti itu akan memudahkan penyandang difabel yang ber-kursi roda.

Berikut prinsip-prinsip dalam mendesain rumah, menurut Gunawan:

1. Selalu ngobrol dan mendengarkan kebutuhan pengguna sebelum mendesain bangunan

Hal ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi kendala mereka. Kesulitan apa yang mereka alami saat beraktivitas. Bagi Gunawan, setiap desain rumah harus bisa digunakan kalangan difabel. Permasalahannya, setiap penyandang difabel yang satu akan memiliki kebutuhan berbeda dengan difabel lainnya. Sebagai contoh:
  • Penyandang tunanetra, lebih membutuhkan rancangan bangunan dengan tanda khusus sebagai petunjuk, saat ia berjalan. Dengan demikian, perlu penambahan ubin pemandu (guiding path), pada lintasan yang selalu dilewati penyandang tunanetra. Adapun bentuk ubin pemandu adalah seperti ubin lainnya, hanya memiliki gerigi. Apabila gerigi tersebut lurus, maka penyandang tunanetra akan mengartikan jalan di depannya terus lurus. Jika gerigi berbelok, maka jalan di depan berarti juga belok. Jika ada tanda berbentu titi-titik, itu berarti ada bahaya. Ia harus berhenti.
  • Penyandang tunarungu, karena mereka bisa melihat, maka yang diperlukan adalah tanda yang mewakili suara. Misalnya untuk penanda ada telpon berdering, maka lampu rumah akan berkelip-kelip. Dinding kaca juga dibutuhkan untuk memberi kemudahan bagi tunarungu saat menterjemahkan lawan bicara.
2. Penggunaan yang wajar, tetapi masuk akal

Maksudnya, rancangan atau desain bangunan selalu memberikan kemudahan bagi penyandang difabel, maupun orang normal. Sebisa mungkin tidak terlalu banyak perbedaan untuk akses bagi orang normal dan difabel, kecuali menyangkut peralatan tertentu.

3. Rancangan bangunan harus mengacu penggunaan sederhana dan intuitif

Sebagai contoh, bagi penyandang tunadaksa yang tidak memiliki tangan, maka dibutuhkan desain tuas berukuran panjang. Hal ini karena mereka menggunakan siku untuk membuka pintu. Dengan tuas yang panjang, maka siku mereka tidak akan sakit.

4. Rancangan bangunan harus membutuhkan upaya fisik yang ringan

Tujuannya adalah agar pengguna bangunan merasa nyaman dan pencegahan terhadap penggunaan yang salah. Ini memang berakibat rancangan rumah difabel akan lebih mahal. Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan pemilihan bahan material yang murah namun berkualitas. Contoh pada aplikasinya adalah:
  • Selalu menggunakan bahan yang mudah menyerap air sehingga tidak licin
  • Pada hampir seluruh dinding rumah usahakan dilengkapi dengan tambahan pegangan besi. Mulai masuk pintu depan hingga ke toilet, juga sebaiknya dilengkapi tambahan pegagangan tersebut. Ini akan memudahkan bagi difabel yang menggunakan kursi roda, sehingga ia tidak bergantung lagi pada orang lain
Dengan segala perjuangan dan keuletannya, saat ini Gunawan telah berprofesi sebagai Dosen jurusan Arsitektur di Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya. Selain itu, buku yang ia rilis: Living in Dignity Home, telah diterjemahkan ke dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris.


















No comments:

Post a Comment